Interaksi Obat Dengan Obat Lain
1.
Interaksi beta-blocker dengan anti hipertensi.
1.1.
Beta-blocker dengan diuretika.
Diuretika
sering digunakan untuk terapi hipertensi. Tapi kalau diuretika saja
maka hasil terapinya
terbatas. Untuk mencapai hasil yang lebih baik maka sebaiknya dikombinasikan
dengan anti hipertensi lain. Percobaan di klinik menunjukkan bahwa kombinasi
beta-blocker dengan diuretika diperoleh kerja anti hipertensi yang lebih baik.
Dalam hal ini tidak terjadi postural hipotensi dan tachycardi yang disebabkan
oleh diuretika (thiazide). Dan juga peninggian plasma renin akibat pemberian
diuretika akan dikurangi oleh beta-blocker
1.2. Beta-blocker
dengan Vasodilator.
Kombinasi obat ini akan
menghasilkan effek terapi yang lebih baik. Ternyata effek sampingnya akan berkurang.
Pemberian hydralazine yang menimbulkan reflex tachycardi akan berkurang bila pemberiannya
dikombinasikan dengan beta-blocker
1 .3. Beta-blocker
dengan methyldopa.
Penggunaan kombinasi
dari methyldopa dan beta-blocker ternyata lebih aman dibandingkan dengan
pemakaiannya secara tunggal. Effek samping dari methyldopa berupa postural
hipotensi akan hilang bila diberikan bersamasama dengan beta-blocker.
1.4. Beta-blocker dengan guanethidine
dan bethadine.
Pengaruh kombinasi ini
hampir sama dengan kornbinasi beta-blocker dengan methyldopa. Effek samping dari
guanethidine dan bethadine akan
berkurang, terutama postural hipotensi yang disebabkan guanethidine dan
bethadine.
2.
Interaksi Beta-blocker dengan anti-arrhythmia.
2.1. Beta-blocker
dengan digitalis.
Pengobatan arrhythmia
dengan digitalis dapat menimbulkan paroxysmal tachycardia. Maka pemberian
beta-blocker bersama-sama dengan digitalis dapat mengontrol tachycardi dengan
baik.
2.2. Beta-blocker
dengan quinidine.
Quinidine yang
digunakan pada arrhythmia jantung dapat rnenimbulkan ventricular fibrillation.
Bila diberikan bersama-sarna dengan beta-blocker maka effek samping ini
berkurang.
2.3. Beta-blocker
dengan procainamide.
Pemberian procainamide
sebagai anti-arrhythmia dapat menimbulkan
penurunan tekanan darah
yang sangat cepat terutama bila diberikan secara intravena. Pemberian
bersama-sama dengan beta-blocker akan menyebabkan effek yang berbahaya karena
bekerja sinergistik.
3.
Int.eraksi beta-blocker dengan anti-depressan dan antl-psikotik
tranguikner.
Pemberian
anti-depressan misalnya derivat tricyclic dan derivat phenothiazine dapat
menimbulkan dysrhythmia. Maka pemberian beta-blocker akan menghindarkan effek
dysrhythmia akibat pemberian anti-depressan tersebut.
4.
Interaksi beta-blocker dengan alfa adrenergik stimulan.
Pada percobaan
menunjukkan bahwa pemberian beta-blocker bersama-Sama dengan norepinephrine
akan menyebabkan Vasokonstriksi. Akibat yang sangat! merugikan ialah ganggren.
Hal ini timbul karena norepinephrine effeknya dominan terhadap reseptor alfa.
5.
Interaksi beta-blocker dengan neuromuskular-blocker.
Beta-blocker yang
dikombinasikan dengan neuromuskular-blocker misalnya : succinycholine,
Decamethonium, d-Tubocurarine, Gallamine, akan menimbulkan kerja sinergistik.
6.
Interaksi beta-blocker dengan obat hipoglikemik.
Gabungan kedua obat ini
menghasilkan effek sinergistik. Hal ini terjadi karena beta-blocker
mempengaruhi kerja glikogenolitik dari glukagon dan juga merangsang pelepasan
insulin.
7.
Interaksi beta-blocker dengan anti-inflammasi.
Beta-blocker menghambat
effek anti-inflammasi dari obat-obat Natrium
salisilat, Aminopirin,
Fenilbutazon, Hidrokortison. Hal ini disebabkan karena kompetisi langsung antara
kedua obat ini pada reseptor yang sama.
8.
Interaksi beta-blocker dengan anti-angina.
Gabungan kedua obat ini
menghasilkan sinergisme. Beta-blocker mengurangikerja jantung dengan mengurangi
heart rate. Demikian pula Nitrat berbuat hal yang Sama dengan mengurangi Venous
return dan volume serta tekanan dalam ventrikell kiri.
9.
Interaksi beta-blocker dengan atropin.
Gabungan kedua obat ini
dapat memperbaiki sinus tachycardia yang terjadii karena pernberian dosis besar
atropin pada pengobatan keracunan insektisida organofosfat. Sebaliknya kejadian
bradikardi akibat kelebihan dosis beta-blocker dapat diatasii dengan pemberian
atropine.
10.
Interaksi beta-blocker dengan tembakau.
Pada mereka yang banyak
merokok pemakaian beta-blocker akan memerlukan dosis yang iebih besar. sebab
tembakau bekerja antagonistik dengan beta-blocker.
11. Pada penderita
penyakit-penyakit yang tersebut dibawah ini, sebaiknya dosis beta-blocker dikurangi, yaitu pada
penderita Rheimatoid arthritis, Colitis ulcerosa Staphylococcal pneumonia dan
Chron's disease.
Interaksi Obat Dengan Makanan
Jus jeruk
Jus jeruk menghambat enzim yang terlibat dalam metabolisme
obat sehingga mengintensifkan pengaruh obat-obatan tertentu. Peningkatan
pengaruh obat mungkin kelihatannya baik, padahal tidak. Jika obat diserap lebih
dari yang diharapkan, obat tersebut akan memiliki efek berlebihan. Misalnya,
obat untuk membantu mengurangi tekanan darah bisa menurunkan tekanan darah
terlalu jauh. Konsumsi jus jeruk pada saat yang sama dengan obat penurun
kolesterol juga meningkatkan penyerapan bahan aktifnya dan menyebabkan
kerusakan otot yang parah. Jeruk yang dimakan secara bersamaan dengan obat
anti-inflamasi atau aspirin juga dapat memicu rasa panas dan asam di perut
Kalsium
Kalsium atau makanan yang mengandung kalsium, seperti susu
dan produk susu lainnya dapat mengurangi penyerapan tetrasiklin.
Vitamin K
Makanan yang kaya vitamin K (kubis, brokoli, bayam, alpukat,
selada) harus dibatasi konsumsinya jika sedang mendapatkan terapi antikoagulan
(misalnya warfarin), untuk mengencerkan darah. Sayuran itu mengurangi
efektivitas pengobatan dan meningkatkan resiko trombosis
(pembekuan darah).
1. NSAIDs +
Tobacco
• Klirens diflunisal, phenazone (antipyrine)
dan fenilbutazon lebih besar pada perokok dibandingkan non-perokok.
• Perokok memerlukan dosis diflunisal,
phenazone (antipyrine) dan fenilbutazon yang
lebih besar untuk memiliki efek
yang sama dibanding non perokok.
MK: Hal ini mungkin sebagai akibat dari
rokok yg
menyebabkan induksi CYP1A2, enzim yang terlibat dalam metabolisme diflunisal,
phenazone (antipyrine) dan fenilbutazon .
• Perokok dan mantan perokok pasca
operasi memerlukan dosis morfin yang lebih tinggi dibandingkan non
perokok.
• Dalam studi lain ditemukan bahwa
metabolisme pentazocine adalah 40% lebih tinggi pada perokok
dibandingkan non-perokok.
3. Paracetamol (Acetaminophen) + Tobacco
• Tidak ada
perbedaan klirens dosis 1 g tunggal parasetamol pada 6 perokok sehat (lebih
dari 15 batang rokok per hari) dan 6 yang sehat (non-perokok).
• Tidak
ditemukan perbedaan dalam farmakokinetik dosis tunggal 650-mg intravena
parasetamol pada 14 perokok (kisaran 8-35 rokok per hari) dan 15 non-perokok.
• Rasio
metabolit parasetamol (glucuronides) adalah 83% lebih tinggi pada perokok berat
9 (sekitar 40 rokok setiap hari), menunjukkan daripada di 14 bukan perokok .
Namun pada perokok sedang (sekitar 10 rokok sehari) tidak lebih tinggi.
• Studi
retrospektif pasien dirawat karena keracunan parasetamol jauh lebih tinggi dari perokok daripada non
perokok, populasi (70% banding 31%).
MK: Rokok menginduksi
metabolisme parasetamol oleh isoenzim sitokrom P450 CYP1A2.
4. Flecainide (antiaritmia) + Tobacco
• Perokok memerlukan dosis yang lebih
besar flecainide dibandingkan non-perokok
• Dalam penelitian farmakokinetik,
ditemukan kirens flecainide 50% lebih
tinggi pada perokok dibandingkan non-perokok
MK:Rokok menginduksi enzim sitokrom P450
di hati yang berkaitan dengan
O-dealkylation dari flecainide yang dikeluarkan lebih cepat dari tubuh.
5. Coumarins +
Tobacco
• Ditemukan kadar warfarain meningkat 13% pada pasien yang
berhenti merokok
MK:. Beberapa
komponen dari asap tembakau bertindak sebagai isoenzim sitokrom P450 induser,
yang mungkin menyebabkan peningkatan kecil dalam metabolisme warfarin. Ketika
berhenti merokok, enzim metabolismewarfarin tidak lagi diinduksi.
6. Insulin +
Tobacco
• Penderita diabetes yang merokok tembakau mungkin perlu
lebih banyak insulin subkutan
MK: Penurunan penyerapan insulin pada
subkutan karena vasokonstriksi perifer.
7. Antipsychotics
+ Tobacco or Cannabis
• Perokok
tembakau atau ganja yang mungkin memerlukan dosis yang lebih besar
klorpromazin, fluphenazine, haloperidol atau tiotixene dibanding bukan perokok.
• Studi dari 403
pasien yang menerima klorpromazin. Ditemukan frekuensi mengantuk 16% pada
pasien non perokok, 13% pada perokok
ringan dan 3 % pada perokok berat.
MK: Rokok induktor enzim, kadar serum
berkurang dan efek kliinis menurun.
8. Benzodiazepines
and related drugs + Tobacco
• Studi terhadap
diazepam, chlordiazepoxid dan zoldipem. Efek mengantuk pada perokok menurun.
MK: Induktor enzim
9. Clozapine +
Tobacco
• Sebuah penelitian retrospektif
menemukan bahwa klirens clozapine 86% lebih tinggi pada perokok dibandingkan
non-perokok.
10. Olanzapine + Tobacco
• Merokok tembakau meningkatkan klirens
olanzapine.
• Manufaktur mengatakan bahwa perokok
memiliki klirens olanzapine 40% lebih besar dari dibandingkan non-smokers
11. Beta blockers + Tobacco ± Coffee and Tea
• Merokok tembakau dapat mengurangi efek
terapi dari beta blockers. Diperlukan peningkatan dosis dari beta blockers
Minum teh atau kopi dapat memiliki efek yang sama tetapi lebih kecil.
Minum teh atau kopi dapat memiliki efek yang sama tetapi lebih kecil.
• Kadar plasma propanolol menurun. Pada
atenolol tdk signifikan.
MK:
Merokok tembakau meningkatkan denyut jantung, tekanan
darah dan keparahan iskemia miokard. Hal ini akibat efek dari nikotin mungkin
sebagai efek langsung dari nikotin yang mengurangi kadar oksigen yang dibawa
dalam darah.
12.
H2-receptor antagonists + Tobacco or Nicotine
• Merokok dapat
mengurangi kadar plasma dari cimetidine dan ranitidine,
tetapi tidak tampak mempengaruhi famotidin.
tetapi tidak tampak mempengaruhi famotidin.
• Penyembuhan ulkus duodenum pada pasien yang memakai
H2-reseptor antagonis seperti cimetidine, famotidin, nizatidin dan ranitidine
lebih lambat dan kekambuhan ulkus lebih sering terjadi pada perokok daripada
non-perokok.
Hal ini sangat mungkin bahwa ini adalah akibat merokok menjadi faktor risiko untuk terjadinya ulcers duodenum daripada interaksi yang signifikan antara merokok dan H2-reseptor antagonis.
Hal ini sangat mungkin bahwa ini adalah akibat merokok menjadi faktor risiko untuk terjadinya ulcers duodenum daripada interaksi yang signifikan antara merokok dan H2-reseptor antagonis.
13. Hormonal contraceptives +
Tobacco
• Ada bbrp bukti bhw merokok meningkatkan resiko perdarahan
dengan kontrsepsi kombinasi oral.
• Resiko penyakit
kardiovaskuler pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi sangat
meningkat jika mereka merokok.
Merokok
meningkatkan metabolisme (2-hidroksilasi) estradiol endogen.
14.
Theophylline + Tobacco
• Perokok berat memerlukan dosis
theophylline yang lebih besar daripada pasien non perokok untuk mendapatkan
efek terapi yang sama.
• Tembakau
mengandung hidrokarbon polisiklik, yang bersifat induktor dari isoenzim sitokrom P450 yang
CYP1A2, meningkatkan clearance
teofilin.
15.
Tricyclic antidepressants + Tobacco
• Merokok dpt mengurangi
kadar plasma dari amitriptilin, clomipramine,
desipramin, imipramine.
desipramin, imipramine.
• Pasien depresi perokok memerlukan
dosis antidepresan trisiklik yang lebih besar daripada non perokok untuk mengatasi
depresi.
Interaksi Obat
Dengan Alkohol
Alkohol
juga akan meningkatkan resiko pendarahan lambung dan kerusakan hati jika
dikonsumsi bersama obat-obat penghilang rasa sakit seperti parasetamol atau
asetaminofen. Alkohol juga dilarang diminum bersama dengan obat-obat penurun
tekanan darah tinggi golongan beta-blocker seperti propanolol. Kombinasi
alcohol- propanolol dapat menurunkan tekanan darah secara drastis dan
membahayakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar