Rabu, 09 Januari 2013

Interaksi Obat Dengan Obat Lain



Interaksi Obat Dengan Obat Lain
1. Interaksi beta-blocker dengan anti hipertensi.
1.1. Beta-blocker dengan diuretika.
Diuretika sering digunakan untuk terapi hipertensi. Tapi kalau diuretika saja
maka hasil terapinya terbatas. Untuk mencapai hasil yang lebih baik maka sebaiknya dikombinasikan dengan anti hipertensi lain. Percobaan di klinik menunjukkan bahwa kombinasi beta-blocker dengan diuretika diperoleh kerja anti hipertensi yang lebih baik. Dalam hal ini tidak terjadi postural hipotensi dan tachycardi yang disebabkan oleh diuretika (thiazide). Dan juga peninggian plasma renin akibat pemberian diuretika akan dikurangi oleh beta-blocker
1.2. Beta-blocker dengan Vasodilator.
Kombinasi obat ini akan menghasilkan effek terapi yang lebih baik. Ternyata effek sampingnya akan berkurang. Pemberian hydralazine yang menimbulkan reflex tachycardi akan berkurang bila pemberiannya dikombinasikan dengan beta-blocker
1 .3. Beta-blocker dengan methyldopa.
Penggunaan kombinasi dari methyldopa dan beta-blocker ternyata lebih aman dibandingkan dengan pemakaiannya secara tunggal. Effek samping dari methyldopa berupa postural hipotensi akan hilang bila diberikan bersamasama dengan beta-blocker.
1.4. Beta-blocker dengan guanethidine dan bethadine.
Pengaruh kombinasi ini hampir sama dengan kornbinasi beta-blocker dengan methyldopa. Effek samping dari guanethidine dan  bethadine akan berkurang, terutama postural hipotensi yang disebabkan guanethidine dan bethadine.





2. Interaksi Beta-blocker dengan anti-arrhythmia.
2.1. Beta-blocker dengan digitalis.
Pengobatan arrhythmia dengan digitalis dapat menimbulkan paroxysmal tachycardia. Maka pemberian beta-blocker bersama-sama dengan digitalis dapat mengontrol tachycardi dengan baik.
2.2. Beta-blocker dengan quinidine.
Quinidine yang digunakan pada arrhythmia jantung dapat rnenimbulkan ventricular fibrillation. Bila diberikan bersama-sarna dengan beta-blocker maka effek samping ini berkurang.
2.3. Beta-blocker dengan procainamide.
Pemberian procainamide sebagai anti-arrhythmia dapat menimbulkan
penurunan tekanan darah yang sangat cepat terutama bila diberikan secara intravena. Pemberian bersama-sama dengan beta-blocker akan menyebabkan effek yang berbahaya karena bekerja sinergistik.
3. Int.eraksi beta-blocker dengan anti-depressan dan antl-psikotik
tranguikner.
Pemberian anti-depressan misalnya derivat tricyclic dan derivat phenothiazine dapat menimbulkan dysrhythmia. Maka pemberian beta-blocker akan menghindarkan effek dysrhythmia akibat pemberian anti-depressan tersebut.
4. Interaksi beta-blocker dengan alfa adrenergik stimulan.
Pada percobaan menunjukkan bahwa pemberian beta-blocker bersama-Sama dengan norepinephrine akan menyebabkan Vasokonstriksi. Akibat yang sangat! merugikan ialah ganggren. Hal ini timbul karena norepinephrine effeknya dominan terhadap reseptor alfa.
5. Interaksi beta-blocker dengan neuromuskular-blocker.
Beta-blocker yang dikombinasikan dengan neuromuskular-blocker misalnya : succinycholine, Decamethonium, d-Tubocurarine, Gallamine, akan menimbulkan kerja sinergistik.



6. Interaksi beta-blocker dengan obat hipoglikemik.
Gabungan kedua obat ini menghasilkan effek sinergistik. Hal ini terjadi karena beta-blocker mempengaruhi kerja glikogenolitik dari glukagon dan juga merangsang pelepasan insulin.
7. Interaksi beta-blocker dengan anti-inflammasi.
Beta-blocker menghambat effek anti-inflammasi dari obat-obat Natrium
salisilat, Aminopirin, Fenilbutazon, Hidrokortison. Hal ini disebabkan karena kompetisi langsung antara kedua obat ini pada reseptor yang sama.
8. Interaksi beta-blocker dengan anti-angina.
Gabungan kedua obat ini menghasilkan sinergisme. Beta-blocker mengurangikerja jantung dengan mengurangi heart rate. Demikian pula Nitrat berbuat hal yang Sama dengan mengurangi Venous return dan volume serta tekanan dalam ventrikell kiri.
9. Interaksi beta-blocker dengan atropin.
Gabungan kedua obat ini dapat memperbaiki sinus tachycardia yang terjadii karena pernberian dosis besar atropin pada pengobatan keracunan insektisida organofosfat. Sebaliknya kejadian bradikardi akibat kelebihan dosis beta-blocker dapat diatasii dengan pemberian atropine.
10. Interaksi beta-blocker dengan tembakau.
Pada mereka yang banyak merokok pemakaian beta-blocker akan memerlukan dosis yang iebih besar. sebab tembakau bekerja antagonistik dengan beta-blocker.
11. Pada penderita penyakit-penyakit yang tersebut dibawah ini, sebaiknya dosis beta-blocker dikurangi, yaitu pada penderita Rheimatoid arthritis, Colitis ulcerosa Staphylococcal pneumonia dan Chron's disease.






Interaksi Obat Dengan Makanan
Jus jeruk
Jus jeruk menghambat enzim yang terlibat dalam metabolisme obat sehingga mengintensifkan pengaruh obat-obatan tertentu. Peningkatan pengaruh obat mungkin kelihatannya baik, padahal tidak. Jika obat diserap lebih dari yang diharapkan, obat tersebut akan memiliki efek berlebihan. Misalnya, obat untuk membantu mengurangi tekanan darah bisa menurunkan tekanan darah terlalu jauh. Konsumsi jus jeruk pada saat yang sama dengan obat penurun kolesterol juga meningkatkan penyerapan bahan aktifnya dan menyebabkan kerusakan otot yang parah. Jeruk yang dimakan secara bersamaan dengan obat anti-inflamasi atau aspirin juga dapat memicu rasa panas dan asam di perut

Kalsium
Kalsium atau makanan yang mengandung kalsium, seperti susu dan produk susu lainnya dapat mengurangi penyerapan tetrasiklin.

Vitamin K
Makanan yang kaya vitamin K (kubis, brokoli, bayam, alpukat, selada) harus dibatasi konsumsinya jika sedang mendapatkan terapi antikoagulan (misalnya warfarin), untuk mengencerkan darah. Sayuran itu mengurangi efektivitas pengobatan dan meningkatkan resiko  trombosis (pembekuan darah).






1. NSAIDs + Tobacco
•   Klirens diflunisal, phenazone (antipyrine) dan fenilbutazon lebih besar pada perokok dibandingkan non-perokok.
•    Perokok memerlukan dosis diflunisal, phenazone (antipyrine) dan fenilbutazon yang  lebih besar  untuk memiliki efek yang sama dibanding non perokok.
MK: Hal ini mungkin sebagai akibat dari rokok  yg  menyebabkan induksi CYP1A2, enzim yang terlibat dalam metabolisme diflunisal, phenazone (antipyrine) dan fenilbutazon .
2. Opioids + Tobacco
•    Perokok dan mantan perokok pasca operasi memerlukan dosis morfin yang lebih tinggi dibandingkan non perokok.
•   Dalam studi lain ditemukan bahwa metabolisme pentazocine adalah 40% lebih tinggi pada perokok dibandingkan non-perokok.
3. Paracetamol (Acetaminophen) + Tobacco
•   Tidak ada perbedaan klirens dosis 1 g tunggal parasetamol pada 6 perokok sehat (lebih dari 15 batang rokok per hari) dan 6 yang sehat (non-perokok).
•   Tidak ditemukan perbedaan dalam farmakokinetik dosis tunggal 650-mg intravena parasetamol pada 14 perokok (kisaran 8-35 rokok per hari) dan 15 non-perokok.
•   Rasio metabolit parasetamol (glucuronides) adalah 83% lebih tinggi pada perokok berat 9 (sekitar 40 rokok setiap hari), menunjukkan daripada di 14 bukan perokok . Namun pada perokok sedang (sekitar 10 rokok sehari) tidak lebih tinggi.
•   Studi retrospektif pasien dirawat karena keracunan parasetamol  jauh lebih tinggi dari perokok daripada non perokok, populasi (70% banding 31%).
MK: Rokok menginduksi metabolisme parasetamol oleh isoenzim sitokrom P450 CYP1A2.


4.    Flecainide (antiaritmia) + Tobacco
•   Perokok memerlukan dosis yang lebih besar flecainide dibandingkan non-perokok
•   Dalam penelitian farmakokinetik, ditemukan kirens flecainide  50% lebih tinggi pada perokok dibandingkan non-perokok
MK:Rokok menginduksi enzim sitokrom P450 di hati yang berkaitan dengan              O-dealkylation dari flecainide yang dikeluarkan lebih cepat dari tubuh.
5.    Coumarins + Tobacco
•  Ditemukan kadar warfarain meningkat 13% pada pasien yang berhenti merokok
    MK:. Beberapa komponen dari asap tembakau bertindak sebagai isoenzim sitokrom P450 induser, yang mungkin menyebabkan peningkatan kecil dalam metabolisme warfarin. Ketika berhenti merokok, enzim metabolismewarfarin tidak lagi diinduksi.
6.   Insulin + Tobacco
•  Penderita diabetes yang merokok tembakau mungkin perlu lebih banyak insulin subkutan
MK: Penurunan penyerapan insulin pada subkutan karena vasokonstriksi perifer.
7.   Antipsychotics + Tobacco or Cannabis
•    Perokok tembakau atau ganja yang mungkin memerlukan dosis yang lebih besar klorpromazin, fluphenazine, haloperidol atau tiotixene dibanding bukan perokok.
•   Studi dari 403 pasien yang menerima klorpromazin. Ditemukan frekuensi mengantuk 16% pada pasien non perokok,  13% pada perokok ringan dan  3 % pada perokok berat.
MK: Rokok induktor enzim, kadar serum berkurang dan efek kliinis menurun.
8.  Benzodiazepines and related drugs + Tobacco
•   Studi terhadap diazepam, chlordiazepoxid dan zoldipem. Efek mengantuk pada perokok menurun.
MK: Induktor enzim
9.  Clozapine + Tobacco
•   Sebuah penelitian retrospektif menemukan bahwa klirens clozapine 86% lebih tinggi pada perokok dibandingkan non-perokok.
10. Olanzapine + Tobacco
•   Merokok tembakau meningkatkan klirens olanzapine.
•   Manufaktur mengatakan bahwa perokok memiliki klirens olanzapine 40% lebih besar dari  dibandingkan non-smokers
11. Beta blockers + Tobacco ± Coffee and Tea
•   Merokok tembakau dapat mengurangi efek terapi dari beta blockers. Diperlukan peningkatan dosis dari beta blockers
Minum teh atau kopi dapat memiliki efek yang sama tetapi lebih kecil
.
•   Kadar plasma propanolol menurun. Pada atenolol tdk signifikan.
MK:  Merokok tembakau meningkatkan denyut jantung, tekanan darah dan keparahan iskemia miokard. Hal ini akibat efek dari nikotin mungkin sebagai efek langsung dari nikotin yang mengurangi kadar oksigen yang dibawa dalam darah.
12. H2-receptor antagonists + Tobacco or Nicotine
•  Merokok dapat mengurangi kadar plasma dari cimetidine dan ranitidine,
tetapi tidak tampak mempengaruhi famotidin.
•  Penyembuhan ulkus duodenum pada pasien yang memakai H2-reseptor antagonis seperti cimetidine, famotidin, nizatidin dan ranitidine lebih lambat dan kekambuhan ulkus lebih sering terjadi pada perokok daripada non-perokok.
Hal ini sangat mungkin bahwa ini adalah akibat merokok menjadi faktor risiko untuk terjadinya ulcers  duodenum daripada interaksi yang signifikan antara merokok dan H2-reseptor antagonis.
13. Hormonal contraceptives + Tobacco
•  Ada bbrp bukti  bhw merokok meningkatkan resiko perdarahan dengan kontrsepsi kombinasi oral.
•   Resiko penyakit kardiovaskuler pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi sangat meningkat jika mereka merokok. Merokok meningkatkan metabolisme (2-hidroksilasi) estradiol endogen.
14.   Theophylline + Tobacco
•   Perokok berat memerlukan dosis theophylline yang lebih besar daripada pasien non perokok untuk mendapatkan efek terapi yang sama.
•  Tembakau mengandung hidrokarbon polisiklik, yang bersifat induktor dari isoenzim sitokrom P450 yang CYP1A2, meningkatkan clearance teofilin.
15.   Tricyclic antidepressants + Tobacco
•   Merokok dpt mengurangi kadar plasma dari amitriptilin, clomipramine,
desipramin, imipramine
.
•   Pasien depresi perokok memerlukan dosis antidepresan trisiklik yang lebih besar daripada non perokok untuk mengatasi depresi.

Interaksi Obat Dengan Alkohol
Alkohol juga akan meningkatkan resiko pendarahan lambung dan kerusakan hati jika dikonsumsi bersama obat-obat penghilang rasa sakit seperti parasetamol atau asetaminofen. Alkohol juga dilarang diminum bersama dengan obat-obat penurun tekanan darah tinggi golongan beta-blocker seperti propanolol. Kombinasi alcohol- propanolol dapat menurunkan tekanan darah secara drastis dan membahayakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar